Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan Impunitas

Dimuat di https://indoprogress.com/penulis/ayu-wahyuningroem/

 

“May this Tribunal prevent the crime of silence”

Demikian Bertrand Russell, seorang filsuf besar dari Inggris, menutup pidatonya ketika meresmikan War Crimes Tribunal di London, 13 November 1966. War Crimes Tribunal, atau Tribunal Kejahatan Perang, adalah suatu pengadilan non Negara yang ia gagas bersama karibnya, Jean Paul-Sartre, seorang eksistensialis kiri asal Perancis, dan rekan-rekan lain dari mulai pengacara, aktivis gerakan mahasiswa, ilmuwan, dokter, korban perang, hingga pensiunan tentara Amerika. Tribunal ini murni merupakan inisiatif masyarakat sipil dari beberapa Negara, dan dilakukan untuk menuntut pertanggung jawaban Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Inggris, Australia, dan Korea, atas perang di Vietnam. Tribunal ini, yang kemudian dikenal dengan Russell’s Tribunal, kemudian menginspirasi kemunculan tribunal rakyat di level internasional (biasa disebut International People’s Tribunal) terhadap beragam kasus-kasus kejahatan serius, termasuk kejahatan perang, agresi, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di banyak Negara di dunia, termasuk yang berkaitan dengan Indonesia. Hingga saat ini, lebih dari delapan puluh tribunal rakyat internasional, atau beberapa menggunakan istilah pengadilan warga internasional (International Citizen’s Tribunal) sudah diselenggarakan, baik yang bersifat permanen seperti Permanent People’s Tribunal yang berbasis di Roma, ataupun yang ad hoc berdasarkan kasus-kasus tertentu.

Apa dan bagaimana sebetulnya Tribunal Rakyat Internasional, dan apa kontribusinya terhadap rejim HAM internasional serta narasi besar tentang keadilan? Apa relevansinya terhadap upaya memutus impunitas di Indonesia? Apa pula prospek dan kontribusinya terhadap penguatan gerakan masyarakat sipil dan wacana penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat d Indonesia? Hal-hal ini akan menjadi bahasan utama dalam tulisan singkat ini.

Saya akan memulai dengan kilas balik dan refleksi atas keberadaan dan fungsi beragam people’s tribunal atau Tribunal Rakyat Internasional (yang selanjutnya akan saya singkat dengan TRI). Bagian berikutnya adalah pembahasan tentang beberapa mekanisme tribunal serupa yang pernah dilakukan terkait dengan pemerintah dan masyarakat Indonesia. Dari sini, saya akan mencoba mengkaitkan dengan inisiatif serupa dan tantangannya di masa depan. Bagian terakhir adalah kesimpulan tulisan.

Tribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik Hukum Internasional

Salah satu kejahatan yang seringkali diamini banyak orang dan banyak Negara, adalah kejahatan yang diistilahkan oleh Russell sebagai crime of silence, atau kejahatan atas kebungkaman terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Jenis kejahatan ini tidak diatur dalam instrumen hukum baik nasional maupun internasional, tapi pembungkaman dan kebungkaman umumnya selalu menjustifikasi kekuasaan Negara yang sewenang-wenang dan berujung pada impunitas. Seringkali upaya masyarakat sipil yang oposan terhadap rejim penguasa menemui jalan buntu. Tidak saja perangkat hukum dan alat politik yang ada tidak cukup efektif sebagai senjata perlawanan, tapi juga perangkat dan ruang yang ada umumnya dikooptasi oleh rejim penguasa untuk melanggengkan impunitas.

Sasaran perlawanan lantas dialihkan di ruang internasional, dimana perangkat hukum pidana internasional sudah dibentuk dan sudah ada preseden untuk meminta pertanggung jawaban Negara yang telah melanggar hak-hak dasar warganya atau warga negara lain. Sayangnya, di tingkatan internasional pun seringkali tidak efektif membantu perlawanan kelompok oposisi untuk membela keadilan bagi mereka yang ditindas. Sistem hukum pidana internasional mendapat banyak kritikan dari kelompok legalis kritis, realis, poskolonial, dan juga kelompok kiri, terutama dalam kaitannya dengan politik dan kepentingan ekonomi negara-negara tertentu serta keterbatasan implementasinya di tingkatan praksis. Karl Marx, misalnya, termasuk yang memberikan warisan kritik atas institusi hukum borjuis yang menjadi bagian dari kekuasaan yang menindas.[1] Dari sini, Samuel Moyn (2012) mengkritik asas ‘netralitas’ yang diumbar oleh sistem hukum pidana internasional yang pada prakteknya tidak lebih sebagai kamuflase untuk memberi jalan bagi liberalisme untuk menghancurkan perjuangan sosialis dan anti-kolonialisme. Kelompok poskolonial juga melihat ketidak seimbangan kekuasaan antara negara-negara bekas penjajah dan negara-negara yang baru merdeka, yang umumnya adalah negara miskin dan powerless, sehingga sistem hukum internasional malah justru melanggengkan kolonialisme dalam bentuk baru.

Hal ini juga disadari Russell dan kawan-kawan ketika menggagas War Crimes Tribunal.[2] Amerika Serikat dan sekutu tidak pernah digugat atas kejahatan perang yang mereka lakukan terhadap Vietnam, negara yang baru merdeka, di tahun 1960-an. Kondisi ini bertolak seratus delapan puluh derajat dari komitmen negara-negara “Barat” dalam hal kejahatan berat yang dilakukan oleh Nazi. Pengadilan Nuremberg digelar khusus untuk mengadili Jerman Timur, dalam hal ini Nazi, atas kejahatan genosida terhadap bangsa Yahudi. Berkaca pada Nuremberg Tribunal tersebut, tribunal yang banyak dikritik sebagai pengadilan sang pemenang atas mereka yang jadi pecundang, Russel dan kawan-kawan menggagas sebuah cermin baru untuk masyarakat dunia berkaca pada kejahatan perang yang sesungguhnya. Sebagaimana disampaikan Sartre dalam salah satu sesi tribunal:

“You know the truth: in the last twenty years, the great historical act has been the struggle of the underdeveloped nations for their freedom. The colonial empires have crumbled, and in their place independent nations have grown or have reclaimed ancient and traditional independence which had been eliminated by colonialism. All this has happened in suffering, sweat and blood. A tribunal such as that of Nuremberg has become a permanent necessity. I have already said that, before the Nazi trials, war was lawless. The Nuremberg Tribunal, an ambiguous reality, was created from the highest legal principles no doubt but, at the same time, it created a precedent, the embryo of a tradition. Nobody can go back, stop what has already existed, nor, when a small and poor country is the object of aggression, prevent one from thinking back to those trials and saying to oneself: it is this very same thing that was condemned then. In this way, the hasty and incomplete measures taken and then abandoned by the Allies in 1945 have created a real gap in international affairs. We sadly lack an organization which has been created and affirmed in its permanency and universality and which has irreversibly defined its rights and duties. It is a gap which must be filled and yet which no one will fill”.[3]

Kalimat terakhir merupakan benang merah dari beragam inisiatif pelaksanaan TRI. Sebuah TRI berperan dalam mengisi kekosongan hukum yang diciptakan oleh negara-negara besar yang kemudian ditinggalkan ketika kejahatan justru dilakukan oleh negara-negara ini terhadap negara kecil. Kekosongan yang sama yang juga ditinggalkan oleh rejim-rejim penguasa di sebuah Negara yang dengan sewenang-wenang melakukan kejahatan berat terhadap warga negaranya sendiri, atau terhadap warga negara lain. Tribunal ini menegaskan pentingnya keadilan formal, dan bahwa keadilan adalah juga suatu hak dan kewajiban bagi masyarakat dunia, tidak hanya terbatas pada otoritas resmi negara atau pemerintah, untuk mewujudkannya.

Tentu saja, sebuah TRI tidak bisa menggantikan formalitas hukum yang hanya mampu disahkan atau dimandatkan kepada Negara. Ini juga kritik utama yang sering ditujukan pada model tribunal masyarakat sipil yang demikian. TRI dinilai tidak memiliki basis formal dalam sistem dan mekanisme resmi yang didukung oleh negara-negara, sehingga tidak mampu mengimplementasikan putusan-putusan yang dibuatnya dalam perangkat hukum yang ada.[4] Meski begitu, TRI punya tiga peran penting: secara prinsip, teori, dan politik.

Secara prinsip, TRI mengadopsi prinsip-prinsip dan mekansime internasional dengan keluaran yang seringkali berbeda dari mekanisme resmi Negara atau lembaga antar-negara yang juga mengadopsi prinsip yang sama. Argumentasi dan putusan didasarkan pemeriksaan terhadap bukti-bukti primer dan sekunder yang didapatkan dari investigasi dan riset yang ketat, serta public hearing atau kesaksian publik yang juga melibatkan saksi-saksi baik pelaku maupun korban. Karena berjarak dengan kepentingan rejim penguasa, dan umumnya mandat didapat dari korban-korban kekerasan, maka hasil dari proses eksaminasi atau pemeriksaan ini lebih mencerminkan prinsip-prinsip keadilan yang dianutnya.

Pemihakan terhadap korban berarti juga merupakan peran teoretis yang difungsikan oleh tribunal, yakni melawan asumsi bahwa Negara melalui representasinya bebas bias dan adil. Pada kenyataannya, senada dengan kritikan Marx, institusi dan sistem hukum seringkali ikut berperan dalam menindas kelompok atau negara tertentu. TRI menegaskan bahwa keadilan sesungguhnya juga merupakan relasi perjuangan atas kekuasaan, dan karenanya hukum perlu memihak pada mereka yang ditindas oleh kekuasaan yang sewenang-wenang. TRI juga membongkar berbagai kelemahan dan keterbatasan dalam sistem hukum yang ada, dan menunjukkan dengan gamblang impunitas yang terjadi lewat upaya-upaya pembungkaman oleh negara. Dengan begitu, TRI mempertanyakan sumber legitimasi dan kepemilikan atas norma-norma hukum internasional dengan menunjukkan berbagai kesenjangan atau kekosongan keadilan yang ada.

Secara politik, peran terbesar TRI adalah membuka ruang artikulasi sekaligus mengesahkan klaim dan pengalaman mereka yang ditindas di saat ruang-ruang resmi negara telah tertutup semua. Tidak saja ruang ini memberi jalan bagi mereka yang ditindas di dalam negeri, tapi juga mereka yang di luar negeri dan bahkan masyarakat dunia ikut mengakuinya.[5] Karena ruang lingkupnya dan penglibatannya yang mendunia, TRI merupakan sebuah gerakan transnasional atau lintas negara yang menggalang dukungan dan kesadaran masyarakat dunia atas kejahatan-kejahatan serius yang dilakukan oleh pemerintah atau Negara, sekaligus mengingatkan perlunya memori bersama untuk mencegah keberulangan di temat dan masa yang lain. Dalam prinsip demokrasi, penguasa tetap harus mempertanggung jawabkan kekuasaannya kepada rakyat yang memilihnya, dan rakyat inilah yang menjadi anggota masyarakat dunia yang bisa menekan pemerintahnya untuk menghadirkan keadilan. Negara, lewat mekanisme yang resmi, bisa saja mengabaikan sebuah kejahatan dan menegaskan impunitas. Namun, masyarakat sipil internasional dapat memobilisasi gerakan yang luas untuk menolak pembungkaman oleh negara terhadap sebuah ketidak adilan.

Russell Tribunal atas kejahatan perang di Vietnam, terlepas dari berbagai kritik yang menyertainya, adalah salah satu contoh sukses gerakan transnational lewat mekanisme tribunal non resmi ini. Tribunal ini adalah yang pertama kali di dunia yang menegaskan bahwa Vietnam adalah satu negara, bukan dua, yang baru merdeka, dan menjadi obyek ekspansi imperialisme Amerika Serikat. Kedua, Amerika Serikat, dibantu oleh Australia, New Zealand, dan Korea Selatan menyerang bukan hanya Vietnam, tapi juga Kamboja dan Laos. Dalam serangan ini, negara tetangga seperti Thailand, Filipina dan Jepang juga complicit terhadap serangan brutal Amerika dan sekutunya. Sesi-sesi tribunal dilakukan di beberapa negara, dan mengumpulkan dukungan dari berbagai lapisan. Respon dunia dari tribunal ini adalah pengakuan atas invasi Amerika dan sekutunya, dan dukungan luas untuk pembebasan Vietnam dan mengakhiri perang di Asia Tenggara. Kesuksesan tribunal ini dilanjutkan dengan Russel Tribunal kedua yang diadakan untuk memeriksa dan memberi putusan terhadap kasus pelanggaran HAM berat di Amerika Latin oleh rejim dikatator militer.

Contoh yang lain adalah tribunal rakyat atas pendudukan Palestina oleh Israel. Didukung sepenuhnya oleh Bertrand Russell Foundation, tribunal yang dikenal dengan Russell Tribunal for Palestine (disingkat RToP) ini diselenggarakan untuk menginvestigasi pelanggaran huku internasional yang mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Palestina dan menghalangi hak mereka untuk menentukan nasib sendiri (self determination). Tribunal ini melibatkan seratus enampuluh nama-nama besar di berbagai dunia, mulai dari musisi, artis, peraih nobel, ilmuwan, mantan petinggi PBB, hingga mantan kepala negara, dan juga ratusan lembaga serta organisasi yang mendukung perdamaian dan penyelesaian masalah Palestina. Termasuk juga yang terlibat adalah Carmel Budiarjo, seorang mantan tahanan politik 1965 di Indonesia yang kemudian mendirikan organisasi Tapol di London. Dalam situs RToP disebutkan:

“This Tribunal has been named the Russell Tribunal on Palestine. It will reaffirm the supremacy of international law as the basis for a solution to the Israeli Palestinian conflict. It will identify all the failings in the implementation of this right and will condemn all the parties responsible for these failings, in full view of international public opinion”.[6]

Kemampuan RToP memobilisir dukungan terhadap penyelesaian masalah Palestina mendesak pengakuan dunia dan PBB atas kejahatan serius yang terjadi di Palestina, sekaligus menolak pembungkaman yang dilakukan oleh negara-negara besar termasuk juga PBB. RToP, dalam putusan akhirnya, menegaskan terbuktinya kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan hasutan ke arah genosida. Meskipun RToP tidak secara eksplisit menyebutkan genosida dalam tuntutannya, namun RToP berpendapat bahwa genosida dapat terjadi karena impunitas terus dibiarkan di tengah kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dan adanya hasutan langsung ke arah genosida.[7] Israel dan beberapa negara pendukungnya dinilai mengabaikan hukum internasional, dan PBB serta negara-negara di dunia diminta bersikap untuk aksi-aksi illegal yang dilakukan Israel dalam okupasinya di Palestina. Putusan RToP ini adalah pengakuan internasional pertama yang resmi, mengadopsi hukum internasional yang tidak pernah dilakukan oleh negara-negara dan PBB sebelumnya. Pengakuan ini menjadi rujukan resmi dan advokasi jangka panjang untuk penyelesaian masalah Palestina.

Selain RToP, Russell Tribunal juga menginspirasi berbagai tribunal lain. Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) adalah salah satunya. Berbeda dengan RToP atau beberapa tribunal lain yang sifatnya per kasus (ad hoc), PPT dibentuk berdasarkan pertimbangan perlunya sebuah mekanisme tribunal masyarakat sipil yang berkelanjutan, yang dapat terus menerus mengakomodir kebutuhan akan keadilan yang terus dibungkam atau tidak mampu dihadirkan oleh negara lewat mekanisme resminya. PPT dibentuk tahun 1979 dan berbasis di Roma, Italia, diinisiasi awalanya oleh pengacara dan senator Italia Lelio Basso dan didukung oleh sejumlah tokoh masyarakat sipil di beberapa negara. PPT mendasarkan dirinya pada Dekalarasi Universal Hak-hak Rakyat (Universal Declaration of the Rights of the Peoples, atau dikenal juga dengan Deklarasi Aljir) dan Kesimpulan Russel Tribunal Kedua tentang Amerika Latin. Hingga hari ini, tidak kurang dari tiga puluh Sembilan kasus sudah digelar oleh PPT di berbagai negara.[8] PPT memeriksa berbagai complain atas dugaan pelanggaran HAM yang diajukan oleh beragam komunitas yang terkena dampak pelanggaran tersebut. Sama seperti TRI lainnya, PPT juga menggunakan format pengadilan formal yang ketat, dan mengeluarkan putusan. Beberapa kasus besar yang selama ini dibungkam oleh negara-egara lewat pemerintah dan institusinya, antara lain kasus genosida Armenia, dan intervensi Amerika di Nikaragua dan Amazon.

Tribunal Rakyat Internasional di Asia dan yang terkait dengan Indonesia

Di Asia, masyarakat sipil juga menyelenggarakan TRI untuk berbagai kasus pelanggaran HAM berat pasca Perang Dunia II. Russell Tribunal tentu adalah TRI pertama yang dilakukan berkenaan dengan negara di Asia, disusul dengan beberapa TRI lainnya di era 1970an. Simm dan Byrnes (2015) mencatat paling tidak ada tiga tribunal yang diselenggarakan oleh PPT terkait dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara, yakni okupasi Indonesia di Timor Timur tahun 1981, Filipinna dan Bangsa Moro tahun 1982, dan okupasi Cina atas Tebet tahun 1992. Selain itu, ada juga sesi-sesi yang digelar untuk meminta pertanggung jawaban perusahaan multinasional, misalnya di Bhopal, dan Bangalore. Baru-baru ini, PPT juga menyelenggarakan sesi untuk kasus genosida Tamil di Srilanka.[9]

Di samping PPT, ada juga beberapa TRI yang diselenggarakan di Asia. Salah satu yang paling dikenal dan menjadi rujukan adalah Tribunal Kejahatan Perang Perempuan untuk Pengadilan Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang (atau disebut the Tokyo Women’s Tribunal). Saya akan menjelaskan lebih banyak tentang tribunal ini dalam bagian berikutnya. Selain Tokyo Tribunal, juga ada Independent Peoples’ Tribunal untuk menghakimi G7 tahun 1993, International Criminal Tribunal for Afghanistan tahun 2004, dan International Peoples’ Tribunal on Human Rights and Justice in Indian-administered Kashmir, serta Peoples’ Tribunal on World Bank tahun 2007 di India.

Khusus tentang TRI yang terkait dengan Indonesia, tiga yang pernah dilaksanakan adalah PPT untuk kasus invasi Timor Timur, Tokyo Tribunal untuk kasus perbudakan seksual, dan Tribunal Warga Internasional untuk kasus pembantaian Biak (Biak Berdarah).

  1. Permanent Peoples’ Tribunal tentang Timor Timur

Setelah lebih dari lima tahun sejak Indonesia menginvasi Timor Timur yang baru merdeka dari Portugal, the Revolutionary Front for an Independent East Timor (FRETILIN) yang memenangkan 50% suara pada Pemilu tahun 1975 mengajukan gugatan terhadap negara Indonesia ke PPT. Dengan melibatkan pemimpin Fretilin, pengacara, ilmuwan, jurnalis, wakil gereja dan beberapa warga negara Indonesia, tribunal ini digelar mulai tanggal 19 hingga 21 Juni 1981 di Lisbon.[10] Keputusan PPT menetapkan bahwa Indonesia telah melakukan agresi dengan melanggar ayat 2(4) Charter PBB, dan karenanya bersalah dan bertanggung jawab atas kejahatan terhadap perdamaian. PPT juga menyimpulkan Indonesia dan didukung oleh beberapa negara lain juga telah melanggar hak menentukan nasib sendiri oleh bangsa Timor Timur.[11] Tribunal ini menandai sebuah bentuk kolaborasi internasional yang pertama kali terjadi tentang apa yang terjadi di Timor Timur, dan berdampak pada terbentuknya sebuah organisasi solidaritas Hak Asasi Rakyat Maubere (Comissão para os Direitos do Povo Maubere, CDPM).[12] Materi-materi sidang PPT juga menjadi bahan advokasi dan diplomasi lebih lanjut untuk pembebasan Timor Timur.

2. Tokyo Tribunal tentang Perbudakan Seksual oleh Jepang

Tribunal ini diadakan di Tokyo tahun 2000 untuk memeriksa dugaan perbudakan seksual oleh tentara Jepang terhadap perempuan-perempuan muda (biasa disebut comfort women atau jugun ianfu) di Asia dan khususnya Asia Tenggara pada masa Perang Dunia II. Tribunal ini menunjuk dirinya sebagai kelanjutan dari International Military Tribunal for the Far East (IMFTE atau Tokyo Trial) yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu untuk mengadili kejahatan perang oleh Jepang selama Perang Dunia II, dimana pengadilan ini absen memasukkan kasus perbudakan seksual dalam dakwaannya meskipun bukti-buktinya sangat kuat dan tersebar. Tribunal Tokyo ini diinisiasi oleh sejumlah feminis dan organisasi masyarakat sipil internasional lintas negara. Melibatkan ratusan praktisi dan akademisi serta korban, Tribunal digelar dan mendapatkan publisitas serta perhatian dunia internasional. Selama lima hari dari tanggal 8 hingga 12 Desember, tribunal ini menghadirkan kesaksian dan tuntutan-tuntutan dari masing-masing negara asal para korban. Dari Indonesia sejumlah korban juga memberikan kesaksiannya, sedangkan tuntutan dibacakan oleh satu tim penuntut yang terdiri dari pengacara senior dan aktivis perempuan seperti Nursyahbani Katjasungkana dan Antarini Arna. Putusan tribunal menyatakan bahwa negara dan pemerintah Jepang, yang diwakili oleh Kaisar Hirohito, bersalah atas kejahatan serius terhadap ribuan perempuan di Asia yang dipaksa menjadi budak seksual untuk melayani tentara-tentara Jepang selama masa Perang Dunia II. Selain itu, Tribunal ini juga merekomendasikan permintaan maaf dari Kaisar serta reparasi kepada para korban yang dirampas hak dan kehidupan social ekonominya selama bertahun-tahun.

Banyak peneliti dan praktisi menilai bahwa tribunal ini merupakan satu lagi contoh sukses TRI. Keputusan Tribunal ini merupakan kemenangan besar bagi para feminis, aktivis HAM, dan terutama korban-korban yang tersebar di berbagai negara.[13] Kontribusi lainnya adalah menguatnya gerakan solidaritas regional untuk isu ini ini dan secara umum isu hak-hak perempuan, dan sejumlah memorialisasi yang dibangun untuk mengingat pengalaman pahit masa lalu ini. Pemerintah Jepang pernah menyatakan permintaan maaf melalui perdana menterinya, namun kemudian ditarik kembali, seperti juga dengan skema reparasi kompensasi yang pernah disalurkan ke beberapa pemerintah negara asal korban, termasuk Indonesia.

3. Tribunal Warga tentang Biak Berdarah

Tribunal ini diadakan belum lama berselang, yakni pada tanggal 6 July 2013, tepat lima belas tahun pasca terjadinya pembantaian atas warga sipil di Biak, Papua. Pembantaian terjadi tidak lama setelah perubahan politik nasional di Jakarta, dimana sejumlah massa pimpinan Filep Karma melakukan aksi damai dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di sebuah menara air di kota Biak. Di hari ketiga aksi tersebut, sejumlah besar pasukan TNI dari berbagai kesatuan dan angkatan, serta polisi, menyerang kerumunan massa dan membabi buta melepaskan tembakan serta aksi-aksi kekerasan hingga pembunuhan. ELSHAM, sebuah LSM local di Papua yang pertama melakukan investigasi atas insiden ini menuliskan laporan banyaknya “kuburan tanpa nama, nama tanpa kuburan”. Tidak ada yang bisa memastikan berapa jumlah korban, namun Human Rights Watch (1998) memperkirakan ratusan orang yang hilang entah dibunuh atau dihilangkan paksa.

Tribunal dilakukan di Universitas Sydney, Australia, melibatkan beberapa pengacara senior seperti Mantan Jaksa Agung negara bagian New South Wales, John Dowd. Tribunal ini digagas oleh Center for Peace and Conflict Studies yang antara lain beranggotakan Peter King dan Eben Kirksey.[14] Tribunal ini mendapat banyak perhatian dari media nasional Australia, dan beberapa media internasional. Saksi-saksi didatangkan dari Papua dan beberapa yang berdomisili di Australia. Tribunal ini tidak mendapat banyak perhatian dari media di Indonesia, dan juga tidak menimbulkan reaksi besar dari pemerintah Indonesia pada saat sebelum dan ketika pelaksanaan. Hal ini bisa berdampak positif, karena dengan begitu keamanan untuk saksi dan penyelenggaraannya lebih lancer. Tentu aspek yang kurang maksimal adalah terbatasnya informasi dan perhatian serta pelibatan masyarakat dan organisasi yang selama ini bekerja untuk isu HAM di Papua. Tribunal menyimpulkan bahwa penyerangan yang dilakukan oleh aparat keamanan adalah di bawah kontrol pemerintah Indonesia, berakibat pada bentuk-bentuk kekerasan mulai pembunuhan hingga kekerasan seksual. Rekomendasi utama tribunal ini adalah agar pemerintah Indonesia menindak lanjuti dengan investigasi hukum serta melakukan reparasi bagi para korban. Selain itu, pemerintah Australia dan Amerika Serikat juga ikut bertanggung jawab karena telah mendukung dan memfasilitasi tentara Indonesia dalam berbagai pelatihan, karena itu maka Australia dan Amerika Serikat juga harus mendesak Indonesia untuk menindak lanjuti putusan tribunal.

Sebuah Tribunal Rakyat Internasional untuk Kejahatan Berat di Indonesia?

Indonesia bisa dikatakan sebagai sebuah negara yang paling responsif terhadap tuntutan pengadopsian prinsip dan norma hukum internasional, tapi juga yang paling enggan untuk memenuhi komitmen yang sudah dijanjikan di atas kertas. Hingga saat ini, Indonesia telah meratifikasi tidak kurang dari sebelas instrument HAM internasional, dan memimpin dalam forum-forum internasional dan regional terkait HAM. Meski demikian, urusan implementasi dari norma-norma dan aturan ini menunjukkan kemunduran terus menerus di setiap pergantian presiden, meskipun demokrasi tetap bertahan sejak turunnya pemimpin otoriter Soeharto di tahun 1998. Upaya-upaya untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat sudah dicoba, namun yang terjadi justru impunitas tetap bertahan dan negara semakin menegasikan klaim-klaim korban dan ketidak adilan. Hingga tahun 2011, sejumlah 137 nama tersangka yang disebut dala laporan investigasi KOMNAS HAM ternyata hanya 34 yang dimasukkan dalam tuntutan Kejaksaan Agung, dan hanya 18 yang dinyatakan bersalah. Dari yang sedikit itu, tidak ada satupun yang akhirnya dihukum karena proses banding.[15] Artinya, angka pembebasan bagi para pelaku pelanggaran HAM di Indonesia adalah 100%. Persoalan pelanggaran HAM masa lalu tidak selesai, ditambah terus dengan kasus-kasus pelanggaran HAM terbaru, sehingga sulit untuk meyakini bahwa rejim penguasa yang sewenang-wenang memang sudah berakhir dan digantikan oleh rejim yang akuntabel dan menghormati hak-hak dasar warganya.

Sementara itu, masyarakat sipil di dalam negeri tidak henti-hentinya mendesakkan tuntutan atas keadilan dan akuntabilitas. Beragam upaya, baik di tingkatan komunitas maupun nasional, telah ditempuh. Namun bukan saja upaya-upaya ini tidak dihiraukan, pemerintah lewat beragam institusinya, tertutama institusi keamanan, justru membenturkan upaya-upaya ini dengan kelompok-kelompok yang dioposisikan terhadap tuntutan keadilan dan akuntabilitas; kelompok-kelompok yang pro pada impunitas dengan dalih agama, nasionalisme, ataupun NKRI.

Pada titik ini, ruang-ruang resmi negara di dalam negeri semakin mengecil dan membuat gerak masyarakat sipil termasuk korban semakin sulit menyuarakan kepentingannya. Demokrasi prosedural yang dipilih oleh para penguasa saat ini merupakan pisau bermata dua: ia seolah-olah memberi pilihan dan akuntabilitas politik kepada rakyat, namun pada saat yang sama ia menjustifikasi kebijakan, termasuk kebijakan yang melanggengkan impunitas,  dan aksi penguasa yang telah dipilih rakyat tadi. Pada saat yang sama, ruang-ruang resmi di luar Indonesia juga belum banyak memberikan komitmen berarti kearah pelembagaan keadilan dan penghormatan HAM di Indonesia.

TRI memberikan sebuah alternatif ruang dari kepepatan yang demikian. Ruang itu tidak di dalam negeri, tapi di luar negeri dengan mengundang lebih banyak kelompok masyarakat di dunia untuk bersolidaritas dan sama-sama mendukung penyelesaian pelanggaran HAM yang bermartabat. Ia sekaligus mereklamasi keabsahan pengalaman kelompok tertindas seperti korban seseuai standar hukum dan norma internasional, dan menjadi alat untuk membongkar kebungkaman negara dan internasional terhadap kejahatan besar yang terjadi di Indonesia, sekaligus menolak impunitas yang begitu kokoh bertahan.

Meski TRI merupakan sebuah alternatif yang strategis, ada setidaknya tiga tantangan besar untuk penerapannya dalam konteks Indonesia. Yang pertama adalah legitimasi hukum. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, ketiadaan legitimasi hukum merupakan kritik terbesar bagi TRI dimanapun di dunia. Meski demikian, hal ini merupakan persoalan yang juga dihadapi oleh semua model inisiatif masyarakat sipil non-negara, termasuk misalnya memorialisasi, upaya pencarian kebenaran, dan sebagainya. TRI harus dilihat di luar dari cara pandang formalistic yang demikian. Legitimasi terbesar dari TRI adalah moral dan politik, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip hukum yang diakui, dan legitimasi ini berasal dari mandate yang diberikan oleh korban dan/atau kelompok yang tertindas.

Tantangan kedua adalah adanya kekakuan dalam memahami pembagian aspek keadilan yang diturunkan dari konsepsi tentang keadilan transisi (transitional justice). International Center for Transitional Justice (ICTJ), sebuah lembaga nirlaba internasional yang mempromosikan pendekatan keadilan transisi, membagi keadilan dalam empat aspek besar: pengungkapan kebenaran, pengadilan, reparasi dan reformasi institusi.[16] Konsepsi ini diadopsi oleh PBB, dan menjadi rujukan dari beragam riset dan advokasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil. Di Indonesia, keadilan transisi juga menjadi rujukan dan kerangka bagi beragam inisiatif baik oleh KOMNAS HAM, KOMNAS Perempuan, LPSK, maupun ornop-ornop baik di Jakarta maupun di daerah-daerah.[17] Pembagian aspek keadilan ini umumnya dipahami sebagai pembagian mekanisme-mekanisme turunan dari masing-masing aspek. Pengungkapan kebenaran, misalnya, dilakukan dalam bentuk tim pencari fakta, tim pendokumentasian, komisi kebenaran, dan sebagainya. Sementara itu, pengadilan merupakan inisiatif untuk keadilan dalam bentuk formal, upaya judisial, dan ditujukan untuk mendapatkan keadilan dengan penghukuman. Sementara itu, reparasi bentuknya bisa berupa restitusi, rehabilitasi ataupun kompensasi, disamping bentuk reparasi kolektif seperti memorialisasi. Terakhir, dan yang seringkali sulit dielaborasi dalam praktek karena dimesnsinya yang luas, adalah reformasi institusi. Ini termasuk juga reformasi sector keamanan misalnya tentara dan polisi. Dalam pemahaman demikian, TRI umumnya dipahami sebagai bagian dari aspek pengadilan, atau keadilan formal.

Kenyataannya, TRI merupakan inisiatif yang menabrak batas empat aspek keadilan tersebut. TRI dilakukan mengikuti dan mengadopsi prinsip-prinsip dan ketentuan serta mekanisme dalam hukum pidana internasional yang resmi (disponsori oleh negara), dimana bukti-bukti diperiksa dan kesaksian-kesaksian disampaikan untuk membuktikan tuduhan pelanggaran HAM berat. Pada umumnya, berbeda dengan pengadilan criminal biasa, TRI mendakwa negara yang melakukan pelanggaran HAM dengan menyebutkan individu-individu yang terbukti melakukan kejahatan. Proses terpenting dari mekanisme ini adalah riset dan pengumpulan data dan bukti-bukti yang menjadi dasar dari tuntutan. Ini adalah bentuk lain pencarian kebenaran, dan keputusan tribunal merupakan kebenaran itu sendiri yang telah melalui verifikasi dalam kerangka hukum formal. Louis Bickford (2007) menyebutkan beberapa contoh TRI dan memasukkannya sebagai unofficial truth projects, atau inisiatif kebenaran non-resmi.

Tantangan ketiga lebih terkait dengan situasi keamanan di dalam negeri. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kemampuan aparat keamanan dan pemerintah Indonesia secara keseluruhan untuk menjamin ataupun mengabaikan keamanan terhadap penyelenggaraan TRI terutama keamanan korban dan aktivis pembela HAM. Beberapa riset menunjukkan, pemerintah Indonesia akan sangat defensif sekaligus reaktif terhadap berbagai upaya pembahasan masalah pelanggaran HAM di forum internasional.[18] Tergantung pada dinamika politik di dalam negeri, dalam beberapa kasus tekanan masyarakat internasional mampu melunakkan dan membuat pemerintah lebih akomodatif. Dalam kasus lain, pemerintah terutama insitusi keamanan dan kelompok-kelompok tertentu di masyarakat, malah cenderung lebih reaktif dan cenderung melakukan kekerasan. Ada dua hal yang bisa mengendalikan atau mengimbangi situasi ini. Yang pertama adalah faktor kepemimpinan kepala negara dan kemauannya memihak pada keadilan, serta dukungan luas masyarakat sipil di dalam negeri, termasuk LSM, akademisi, dan media. Yang terakhir inimenjadi penting, karena TRI adalah inisiatif yang lahir dari masyarakat sipil dan memiliki tujuan yang sama dalam memutus impunitas dan menolak crime of silence.

Kesimpulan

Sejarah mencatat, hanya sedikit saja kasus-kasus kejahatan oleh Negara yang bisa diadili dalam sistem hukum internasional yang ada saat ini. Dengan kata lain, hukum internasional dan domestik tidak selalu dapat memberikan keadilan karena memiliki berbagai keterbatasan dan selalu beririsan dengan kepentingan politik dan ekonomi tertentu. Hukum kemudian menjadi milik penguasa, dan memapankan impunitas serta membuat sebuah kejahatan pembungkaman terhadap ketidak adilan dan penindasan.

TRI menjadi sebuah ide yang dikongkretkan atas pertimbangan kekosongan dan kesenjangan hukum, antara yang normative dan yang riil. TRI adalah keresahan masyarakat sipil yang muncul dari ambiguitas negara-negara terhadap keadilan. Atas dasar keresahan inilah pilihan TRI mengadopsi sepenuhnya hukum-hukum dan norma yang ada untuk menjadikannya sebuah cermin lain keadilan, yakni keadilan yang memihak pada korban dan kelompok yang tertindas.

TRI , meskipun tidak mendapatkan legitimasi formal dari negara, namun memiliki dampak penting secara teori, prinsip dan politik. TRI tidak saja memberikan ruang bagi korban untuk mereklamasi tuntutannya, tapi juga mampu memberi fondasi dan pengakuan internasional terhadap sebuah kejahatan berat, dan memobilisir solidaritas dunia untuk menekan negara-negara menunaikan tanggung jawab bersama untuk menegakkan HAM dan keadilan. TRI adalah suatu terobosan yang mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip hukum, namun tetap mengedepankan kebutuhan untuk kebenaran, pemulihan untuk korban serta reformasi institusi untuk jaminan ketidak berulangan di masa depan.

Di Indonesia, TRI sudah pernah dilakukan dengan dampaknya masing-masing. Ke depannya, TRI patut dipertimbangkan sebagai satu lagi alternative masyarakat sipil untuk menuntaskan kasus-kasus kejahatan berat, di tingkat internasional, secara bermartabat. Sejumlah tantangan memang ada di depan mata, dan ini juga hal yang perlu didialogkan bersama. Untuk dialog itulah saya menulis tulisan ini sebagai sebuah pengantar semata.

 

Referensi

Argibay, Carmen, “Sexual Slavery and the Comfort Women of World War II”, dalam Berkeley Journal of International Law, Vol 21, Issue 2, 2003

Bickford, Louis, “Unofficial Truth Project”, dalam Human Rights Quarterly, 29, 2007, hal. 994-1004

Byrnes, Andrew dan Gabrielle Simm, “Peoples’ Tribunals, International Law and the Use of Force”, dalam University of New South Wales Law journal, 28, 2013

Henry, Nicola, “ Memory of an Injustice: the “Comfort Women” and the Legacy of the Tokyo Trial”, dalam Asian Studies Review, vol 37 issue 3, 2013

Hindra, Eka, dan Koichi Kimura, Mereka Memanggilku Momoye, Esensi, 2007

Jiwon, Suh, The Politics of Transitional Justice in Post-Soeharto Indonesia, 2012 (tidak diterbitkan)

Klinghoffer, Arthur, dan Judith Apter Klinghoffer, International Citizens’ Tribunal: Mobilizing Public Opiniion to Advance Human Rights, Palgrave, 2002

Kontras dan ICTJ, Derailed: Transitional Justice in Indonesia since the Fall of Soeharto, 2011

Limqueco, Peter, and Peter Weiss (eds), Prevent the Crime of Silence, Reports from the Sessions of International War Crimes Tribunal Funded By Bertrand Russell, 1971

Linton, Suzannah, “Accounting for Attrocities in Indonesia”, dalam Singapore Year Nook of International Law, Vol 11, 2007

Moyn, Samuel, The Last Utopia: Human Rights in History, Harvard University Press, 2012

Simm, Gabrielle dan Andrew Byrnes, “International Peoples’ Tribunal in Asia: Political Theatre, Juridical Farce, or Meaningful Intervention?”, dalam Asian Journal of International Law, 2015

Wahyuningroem, Sri Lestari, “Seducing for Truth and Justice: Civil Society Initiatives for the 1965 Mass Violence in Indonesia”, dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, 32, 3, 2013

[1] Lihat Karl Marx, The Rights of Man and Citizen in “On the Jewish Question”, pertama kali diterbitkan tahun 1844.

[2] War Crimes Tribunal yang digagas Russell dan kawan-kawan ini, menurut beberapa peneliti, bukanlah inisiatif tribunal masyarakat sipil yang pertama. Hanya saja, dimensi internasional, dengan pelibatan dari berbagai kalangan di beberapa negara dan penyelenggaraan serta cakupannya yang menduinia, membuat tribunal ini menjadi tribunal internasional pertama yang selanjutnya menginspirasi kmunculan banyak tribunal rakyat internasional lainnya. Lihat diskusinya di Arthur Klinghoffer dan Judith Apter Klinghoffer, International Citizens’ Tribunal: Mobilizing Public Opiniion to Advance Human Rights, Palgrave, 2002.

[3] Peter Limqueco and Peter Weiss (ed), Prevent the Crime of Silence, Reports from the Sessions of International War Crimes Tribunal Funded By Bertrand Russell, 1971

[4] Simm, Gabrielle dan Andrew Byrnes, “International Peoples’ Tribunal in Asia: Political Theatre, Juridical Farce, or Meaningful Intervention?”, dalam Asian Journal of International Law, September 2015, hal. 2

[5] Byrnes, Andrew dan Gabrielle Simm, “Peoples’ Tribunals, International Law and the Use of Force”, dalam University of New South Wales Law journal, 28, 2013, hal. 18

[6] http://www.russelltribunalonpalestine.com/en/about-rtop

[7] ibid

[8] Lihat websitenya http://www.fondazionebasso.it/2015/introduction?lang=en

[9] http://www.ptsrilanka.org/

[10] Lihat laporan CAVR, 2005, hal. 104, 115

[11] Byrnes dan Simm, 2011, hal. 10

[12] Laporan CAVR, 2005, hal 104

[13] Banyak peneliti yang menuliskan pengalaman dan dampak tribunal tidak saja terhadap aktivisme transnasional tetapi juga terhadap hukum pidana dan norma hukum internasional. Lihat misalnya Nicola Henry, “ Memory of an Injustice: the “Comfort Women” and the Legacy of the Tokyo Trial”, dalam Asian Studies Review, vol 37 issue 3, 2013; atau Carmen Argibay, “Sexual Slavery and the Comfort Women of World War II”, dalam Berkeley Journal of International Law, Vol 21, Issue 2, 2003. Selain tulisan jurnal, juga banyak buku-buku yang ditulis berdasarkan riset terhadap tribunal ini. Beberapa kisah dan kesaksian korban Jugun Ianfu Indonesia juga telah dipublikasikan, antara lain Eka Hindra dan Koichi Kimura, Mereka Memanggilku Momoye, Esensi, 2007.

[14] Lihat informasi tentang tribunal ini, beserta rekaman sesi-sesi tribunal di http://www.biak-tribunal.org

[15] Lihat analisisnya dalam laporan Kontras dan ICTJ, Derailed: Transitional Justice in Indonesia since the Fall of Soeharto, 2011, hal 37-62

[16] lihat https://www.ictj.org/about/transitional-justice. Konsepsi ini diadopsi oleh PBB sebagaimana dituliskan dalam dokumen Guidance Note of the Secretary General: United Nations Approach to Transitional Justice, Maret 2010.

[17] Lihat misalnya Sri Lestari Wahyuningroem, “Seducing for Truth and Justice: Civil Society Initiatives for the 1965 Mass Violence in Indonesia”, dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, 32, 3, 2013, hal. 115-142; Suh Jiwon, The Politics of Transitional Justice in Post-Soeharto Indonesia, 2012 (disertasi dari Ohio State University, tidak diterbitkan), Suzannah Linton, “Accounting for Attrocities in Indonesia”, dalam Singapore Year Nook of International Law, Vol 11, 2007, hal. 195-259

[18] Pasca reformasi 1998, misalnya, pemerintah sangat akomodatif terhadap tekanan luar negeri untuk isu-isu pelanggaran HAM. Misalnya saja, pemberian referendum untuk Timor Timur, dan pembuatan sejumlah aturan dan Undang-undang terkait HAM. Masa-masa awal ini, oleh Kontras dan ICTJ, disebut sebagai periode yang menjanjikan, yang kemudian mulai mundur ke periode dimana mekanisme akuntabilitas merupakan kompromi-kompromi diantara kekuatan politik sebelum kemudian macet samasekali. Lihat Kontras dan ICTJ, Derailed, 2012.